Beranda | Artikel
Berhati-Hati dalam Menjaga Harta Anak Yatim
Rabu, 22 Maret 2017

BERHATI-HATI DALAM MENJAGA HARTA ANAK YATIM

Oleh
Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc M.A.

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allâh sebagai Pengawas (atas persaksian itu). [An-Nisâ’/4:6]

TAFSIR RINGKAS
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.

Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada kaum Muslimin (yang menangani harta anak yatim-red) untuk menguji anak-anak yatim (yang mereka asuh-red) jika mereka telah sampai pada umur yang cerdas (dalam urusan mengelola harta) atau ketika mereka sudah mencapai usia baligh, dengan cara memberikan sebagian harta kepada mereka kemudian mereka disuruh untuk melakukan aktifitas jual beli. Apabila terlihat pada mereka kemampuan yang baik dalam mengelola harta maka kaum Muslimin yang menanngani harta anak yatim tersebut boleh menyerahkan harta anak-anak yatim tersebut kepada mereka. Dan saat menyerahkan harta tersebut kepada mereka, hendaknya dengan mengangkat beberapa orang menjadi saksi (dalam serah terima ini-red), sehingga (tidak ada celah bagi mereka-red) pada suatu hari nanti untuk mengatakan, “Engkau belum menyerahkan hartaku kepadaku.” Dan cukuplah Allâh Azza wa Jalla yang menjadi saksinya.

“Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.”

Allâh Azza wa Jalla melarang wali anak yatim untuk memakan harta-harta anak yatim lebih dari batas kewajaran dan tergesa-gesa. Allâh Azza wa Jalla ingin agar para wali dan orang-orang yang diwasiatkan untuk menjaga anak yatim tidak memakan harta-harta mereka dengan melampau batas kewajaran dari apa yang dibutuhkan olehnya atau bersegera dalam memberikan harta tersebut kepada anak yatim yang masih tidak memiliki kemampuan memadai dalam menggunakan harta.

“Barang siapa (di antara pemelihara itu) kaya (mampu), maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.”

Allâh memberikan petunjuk terbaik kepada para wali yatim dalam penggunakan harta anak yatim tersebut. Yaitu, para wali yang kaya (mampu), maka (sebaiknya) dia menahan diri dari mengambil harta anak yatim dan tidak memakannya sedikit pun. Para wali yang miskin, maka dia hendaknya makan sewajarnya, yaitu dengan cara meminjam sebagian harta anak yatim tersebut, kemudian mengembalikannya lagi ketika sudah memiliki kemampuan atau kelonggaran ekonomi. Apabila wali tersebut adalah orang miskin, maka dia boleh mengambil uang jasa atas jerih payahnya mengurus anak yatim tersebut secara wajar[1]. Apabila wali tersebut adalah orang yang kaya, maka dia mengurus anak tersebut dengan tanpa bayaran dan dia mengharapkan ganjarannya dari Allâh Azza wa Jalla saja. Dan Allâh Azza wa Jalla tidak menyia-nyiakan ganjaran bagi orang yang amalannya baik.[2]

“Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.”

Ini adalah petunjuk yang hukumnya sunnah dan bukan wajib. Para wali yatim diperintahkan untuk mendatangkan saksi pada saat menyerahkan harta tersebut kepada anak yatim ketika dia baligh agar terhindar dari fitnah dan bisa memutuskan perkara jika terjadi perselisihan.

“Dan cukuplah Allâh sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”

Cukuplah Allâh yang menjadi pembalas akan kebaikannya dan menjadi saksi apa yang telah dilakukannya.[3]

PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.

Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menyuruh untuk menguji atau mengecek anak yatim apabila dia sudah mencapai usia yang cukup untuk menikah.

 Siapakah yang dimaksud dengan anak yatim?
Jumhur ahli tafsir mengatakan bahwa anak yatim adalah anak yang ayahnya telah meninggal dan ia belum mencapai usia baligh. Apabila telah baligh maka tidak lagi dinamakan anak yatim. Ini juga sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ وَلاَ صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ

Tidak ada keyatiman setelah mimpi basah dan tidak ada diam (tidak berbicara dengan menganggapnya sebagai ibadah) seharian sampai malam.[4]

Begitu pula untuk yatîmah (anak yatim perempuan), maka dia tidak dinamakan yatim lagi setelah dia haidh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلامٍ ، وَلا يُتْمَ عَلَى جَارِيَةٍ إِذَا هِيَ حَاضَتْ

Tidak ada keyatiman setelah mimpi basah dan tidak ada keyatiman bagi anak perempuan apabila dia sudah haidh.[5]

Kapankah anak kecil dianggap baligh?
Seorang anak dianggap baligh apabila:

  1. Telah mimpi basah (ihtilâm), termasuk di dalamnya keluar mani (inzâl) dengan sengaja.
  2. Telah berumur 15 tahun, menurut madzhab Imam asy-Syâfii dan Imam Ahmad, begitu pula Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan dari madzhab Imam Abu Hanî
  3. Telah haidh, untuk wanita.
  4. Terjadi kehamilan.
  5. Telah tumbuh bulu kemaluan, menurut pendapat yang kuat, karena Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Athiyyah al-Quradzhi Radhiyallahu anhu mengatakan:

كُنْتُ مِنْ سَبْىِ بَنِى قُرَيْظَةَ فَكَانُوا يَنْظُرُونَ فَمَنْ أَنْبَتَ الشَّعْرَ قُتِلَ وَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ لَمْ يُقْتَلْ فَكُنْتُ فِيمَنْ لَمْ يُنْبِتْ

Dulu saya termasuk tawanan perang dari suku Bani Quraidzhah, dulu mereka (para Sahabat) melihat (kami). Barangsiapa yang telah tumbuh rambut (kemaluannya) maka dia dibunuh dan barangsiapa yang belum tumbuh maka dia tidak dibunuh. Dan saya termasuk orang yang belum tumbuh (rambut kemaluanku).[6]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ 

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.

Apa yang dimaksud dengan cerdas atau rusyd?

Yang dimaksud dengan cerdas atau rusyd di sini adalah agamanya bagus dan memiliki kemampuan menjaga harta mereka. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu , Sa’îd bin Jubair Radhiyallahu anhu, al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan lain-lain.

Para ahli fiqh mengatakan bahwa apabila seseorang sudah baligh, bagus kwalitas agama dan (penjagaan) hartanya maka terlepaslah al-hajr (pembatasan harta) dari dirinya. Wali yatim bisa menyerahkan harta anak yatim tersebut kepadanya.[7]

Bagaimana menguji kecerdasannya?
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Pengujian tersebut berbeda-beda sesuai keadaaan anak-anak yatim. Jika dia termasuk orang yang biasa bertransaksi di pasar, maka wali yatim menyerahkan sedikit modal kepadanya (untuk dijadikan modal usaha). Kemudian dilihat, apa yang dia lakukan dengan modal tersebut.

Apabila dia tidak biasa bertransaksi di pasar, maka dia bisa diuji dengan diserahi wewenang mengurusi belanja rumah tangga, upah budak dan para pekerjanya.

(jika dia) wanita, dia bisa diuji dengan diberi weweang mengurus rumahnya dan menjaga barangnya, termasuk bisa diuji dalam urusan merajut atau memintal (benang). Apabila dalam beberapa kali percobaan, wali yatim melihat anak tersebut sudah piawai dalam mengurus dan mengelola apa yang diminta kepadanya, dan besar dugaan dia sudah memiliki kecerdasan, maka barulah anak tersebut diberikan hartanya.”[8]

Apa yang disebutkan oleh Imam al-Baghawi hanya contoh saja. Untuk mengujinya maka bisa dengan berbagai cara sesuai keadaan anak yatim tersebut. Yang paling penting adalah dia sudah bisa mempertimbangkan baik-buruk, maslahat-mafsadat, bahaya-tidak bahaya penggunaan hartanya dan bisa mempertimbangkan resiko dengan baik dari penggunaan harta tersebut.

Kapankah diperbolehkan menyerahkan harta anak yatim kepada anak yatim?
Apabila telah diketahui anak tersebut telah memiliki ke-shalih-an dalam masalah agama dan cerdas atau baik dalam mengelola dan menyimpan hartanya, maka tidak ada alasan bagi wali anak yatim yang menyimpan hartanya untuk menahan harta tersebut. Wali tersebut wajib menyerahkannya kepada anak yatim tersebut jika anak tersebut memintanya.

Jika ternyata anak tersebut sudah baligh tetapi belum memiliki kecerdasan untuk mengelola harta meskipun dia sudah shalih dalam agamanya, maka menurut pendapat madzhab Mâlik, madzhab asy-Syafii, madzhab Ahmad dan yang lainnya, harta anak tersebut tetap tidak boleh diberikan kepadanya karena dia belum mencapai kecerdasan yang disyaratkan pada ayat di atas. Sedangkan menurut madzhab Abu Hanîfah, anak yatim tersebut tidak boleh dibatasi hartanya jika dia sudah baligh, merdeka dan berakal, meskipun dia adalah orang yang paling fasiq dan sangat mubadzdzir (orang yang sering membuang-buang harta).[9] Dalam hal ini, pendapat jumhur lebih kuat.

Dalam madzhab asy-Syafi’, jika anak tersebut sudah pandai menggunakan harta tetapi tidak bagus dalam urusan agamanya, maka terdapat dua pendapat.

Pendapat pertama, dia tetap di-hajr (dibatasi dalam penggunaan hartanya) dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Abul-’Abbas bin Syuraih.

Pendapat kedua, dia tidak di-hajr (dibatasi dalam penggunaan hartanya). Pendapat ini yang dipilih oleh Ishaq al-Marwazi dan yang lebih kuat dalam madzhab asy-Syâfi’i.[10]

Allâhu a’lam, pendapat inilah yang tepat, anak tersebut tidak lagi dibatasi dalam penggunaan atau pengelolaan hartanya. Karena, apabila seseorang sudah baligh, merdeka, berakal (tidak gila) dan sudah bisa mengelola harta dengan baik, maka anak tersebut memiliki hak untuk mengambil hartanya yang dititipkan kepada walinya. Adapun mengenai penggunaan harta tersebut, apakah nanti akan dipakai untuk kebaikan atau keburukan, ketaatan atau kemaksiatan, maka ini adalah tanggung jawab anak tersebut di hadapan Allâh Azza wa Jalla dan bukan tanggung jawab sang wali.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا

Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.

Haram memakan harta anak yatim

Allâh Azza wa Jalla melarang kita memakan harta anak yatim dengan cara yang batil, sebagaimana difirmankan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam ayat ini dan juga firman-Nya:

وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. [An-Nisa’/4:2]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). [An-Nisâ’/4:10]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

 اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ.

“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan!” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Apakah itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Berbuat syirik kepada Allâh, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan oleh Allâh kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari perang yang berkecamuk dan menuduh berzina wanita suci mukminah yang sedang lalai.[11]

Dalil-dalil di atas sangat jelas menunjukkan bahwa memakan harta anak yatim dengan cara yang batil itu haram. Oleh karena itu, jika kita diberi amanah untuk menjaganya, maka sudah sepantasnya kita berhati-hati dalam menjaganya dan jangan mencampurnya dengan harta milik kita.

Jangan terburu-buru membelanjakannya
Maksudnya adalah jangan terburu-buru membelanjakan atau menggunakan harta anak yatim tersebut karena kalian takut mereka akan mencapai usia baligh sehingga kalian tidak mendapatkan manfaat dari harta anak yatim tersebut setelah kalian menyerahkannya kepadanya. Ini adalah perbuatan terlarang karena wali yatim sengaja memanfaatkan harta anak yatim tersebut dan sengaja menunda-menunda penyerahan harta tersebut kepada anak yatim (yang menjadi pemiliknya) agar ia bisa memanfaatkannya.

Ibnu Zaid rahimahullah mengatakan, “Ini ditujukan kepada wali anak yatim. Dia makan bersama anak tersebut. Jika dia tidak mendapatkan sesuatu maka dia meletakkan tangan bersamanya. Kemudian dia pun menunda-nunda penyerahan harta tersebut dan berkata, ‘Saya tidak akan menyerahkan harta tersebut kepadanya.’ Dan engkau makan harta tersebut sekehendakmu, karena engkau jika belum menyerahkannya kepadanya, maka engkau masih memiliki bagian, sedangkan jika engkau telah menyerahkannya maka engkau tidak mendapatkan bagian.”[12]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ

Barang siapa (di antara pemelihara itu) kaya (mampu), maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang apa saja dari harta mereka yang halal untuk diambil. Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada orang kaya atau berkecukupan untuk tidak mengambilnya sama sekali, dan membolehkan wali yatim yang faqir atau miskin untuk mengambilnya dengan cara yang ma’rûf (baik). Oleh karena itu, wali yatim harus benar-benar memperhatikan ini dan tidak menyepelekannya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۚ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. [Al-Isra’/17:34]

Allâh menyuruh kita untuk menjauhi harta anak yatim dan tidak bermudah-mudah untuk memanfaatkannya.

Batasan kebolehan mengambil harta anak yatim
Jika wali yatim adalah orang yang miskin, maka dia berhak untuk mengambil sebagian harta tersebut dengan cara yang ma’rûf (baik). Lalu, apakah yang dinamakan dengan ma’rûf dalam ayat ini?

Para Ulama berselisih pendapat dalam hal ini, di antara pendapat ulama tentang hal ini adalah sebagai berikut[13]:

  1. Yang dimaksud dengan ma’rûf adalah utang. Wali yatim jika dia miskin dan membutuhkan harta anak yatim tersebut maka dia boleh mengambilnya sebagai utang yang nanti harus dia bayar ketika keadaannya lapang dan dia tidak berutang kecuali sesuai kadar kebutuhannya yang mendesak saja dan tidak boleh lebih dari itu. Ini adalah pendapat ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Said bin Jubair, Asy-Sya’bi, Mujahid, Abul-’Aliyah dan Al-Auza’i.

‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu mengatakan, “Sesungguhnya saya menempatkan diriku terhadap harta Allâh, seperti saya menempatkan diri sebagai wali yatim dalam menjaga harta anak yatim. Apabila saya berkecukupan maka saya tidak akan menggunakannya. Tetapi apabila saya sedang dalam keadaan faqir, maka saya mengambilnya dengan cara yang ma’rûf (baik). Apabila saya mendapatkan kelapangan maka saya akan membayarnya.[14]

Umar Radhiyallahu anhu menganggapnya sebagai utang yang harus dia bayar ketika dia mendapatkan kelapangan.

  1. Wali yatim yang miskin boleh mengambil harta tersebut untuk menutupi kelaparannya dan membeli pakaian untuk menutupi auratnya dan bukan untuk perhiasan, yaitu hanya sekedar upah pekerjaan yang dia lakukan untuk menjaga anak yatim dan dia tidak perlu menggantinya. Ini adalah pendapat Ibrahim an-Nakhâ’i, ‘Atha’, al-Hasan al-Bashri, Qatâdah dan banyak ahli fiqh.

Qatâdah rahimahullah mengatakan, “Wali yatim yang miskin tidak perlu mengganti apa yang dia makan dengan ma’rûf (baik). Karena ini adalah hak orang yang mengurus anak yatim.”

Hasan al-Bashri mengatakan, “Dia adalah makanan yang Allâh berikan untuknya. Caranya adalah dia makan yang cukup untuk menutupi rasa laparnya, memakai pakaian yang menutupi auratnya dan tidak memakai pakaian yang mahal yang terbuat dari sutra dan tidak pula yang sangat bagus.”

Menurut pendapat kedua ini, wali yatim tidak perlu mengembalikan harta yang diambilnya karena itu adalah hak wali yatim tersebut.

  1. Jika wali yatim ditunjuk oleh ayahnya maka dia boleh mengambilnya dengan tanpa harus berutang, sedangkan jika wali yatim tersebut ditunjuk oleh hakim atau pemerintah, maka dia hanya boleh mangambilnya dengan cara yang ma’rûf dan berutang. Ini adalah pendapat al-Hasan bin Shalih.
  1. Wali yatim tidak boleh mengambil sedikitpun dari harta anak yatim, baik dengan cara ma’rûf ataupun tidak, karena ayat ini telah di-naskh (dihapus hukumnya) dengan ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan cara berjual beli yang didasari kerelaan di antara kalian. [An-Nisâ/4:29]

Inilah yang dikatakan oleh Mujahid rahimahullah. Zaid bin Aslam menambahkan bahwa rukhshah dalam ayat ini dihapuskan dengan ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” [An-Nisâ’/4:10]

Adapun yang dikatakan oleh orang yang membolehkan mengambilnya, maka kita tidak bisa menentukan besar imbalan atas jasa yang dia lakukan, karena jasa yang dilakukan oleh wali yatim sifatnya majhûl (tidak diketahui) atau tidak jelas, dan juga di dalamnya kita tidak mengetahui ada ke-ridha-an ataukah tidak di dalam mengambil harta tersebut.

Dan masih ada pendapat-pendapat lain, namun penulis hanya cukupkan dengan menyebutkan empat pendapat ini saja.

Allâhu a’lam, dengan mengetahui khilaf (perselisihan) Ulama di atas sudah sepantasnya kita berhati-hati dalam memanfaatkan harta anak yatim. Dan pendapat yang lebih dzhahir (tampak) adalah pendapat yang pertama, wali yatim yang miskin hanya boleh mengambilnya dalam keadaaan sangat membutuhkan dan itu pun dianggap sebagai utang yang harus dia kembalikan jika dia memiliki kelapangan untuk membayarnya. Karena kita tidak mengetahui, apakah orang yang memiliki harta itu ridha atau tidak ? walaupun harta yang diambil sangat sedikit dan akad dalam menerima imbalan jasa mengurusnya juga tidak jelas.

Adapun pendapat yang mengatakan ayat di atas telah dihapus hukumnya, maka ini membutuhkan dalil akan penghapusannya dan bukan dengan prasangka, sementara itu kita tidak mendapatkan dalil yang menunjukkan hal tersebut. Ditambah juga pendapat pertama ini perkataan Sahabat dan banyak ahli tafsir di kalangan tabi’in.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا

Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allâh sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Apabila kalian telah menyerahkan harta kepada mereka setelah mereka baligh dan memiliki kecerdasan dalam mengelola harta, maka ketika itu serahkanlah harta-harta mereka kepada mereka. Apabila kalian telah menyerahkan harta-harta kepada mereka maka datangkanlah saksi-saksi untuk mengantisipasi adanya pengingkaran dari mereka pada suatu hari nanti dan menjadi bukti atas penyerahan tersebut.

Dan cukuplah Allâh sebagai Pengawas atas penjagaan mereka terhadap harta anak yatim dan Pengawas ketika mereka menyerahkan harta tersebut kepada mereka.

Imam al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan pendapat lain tentang arti “adakan saksi-saksi”, beliau rahimahullah mengatakan, “ ’Umar bin al-Khattab dan juga Ibnu Jubair memandang bahwa persaksian ini hanyalah dilakukan jika orang yang diwasiatkan (mengurus anak yatim tersebut) telah mendapatkan kelapangan untuk membayar utang yang dia ambil dari harta anak yatim tersebut ketika dia sedang miskin.”[15]

Islam sangat memperhatikan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika terjadi perselisihan di antara manusia, terutama mengenai harta. Oleh karena itu, Islam mengenal akad tautsiqah (pengikat kepercayaan) dan juga persaksian-persaksian, agar nantinya tidak ada yang terzhalimi. Dalam penyerahan harta anak yatim tersebut pun, sangat disarankan untuk mendatangkan saks-saksi agar jika nantinya anak yang menerima harta tersebut menyatakan harta yang diterimanya kurang, maka dia bisa menuntut dan memiliki bukti, begitu pula jika nantinya anak tersebut menuntut orang yang menjaga hartanya, maka orang yang menjaga hartanya pun bisa menunjukkan bukti penyerahannya.

Kesimpulan

  1. Anak yatim adalah anak yang ayahnya telah meninggal semenara dia belum baligh. Apabila telah baligh maka tidak lagi dinamakan sebagai anak yatim.
  2. Apabila anak yatim telah baligh, merdeka, berakal dan sudah bisa mengelola harta dengan baik, maka anak tersebut memiliki hak untuk mengambil hartanya yang dititipkan kepada walinya.
  3. Wali yatim yang miskin hanya boleh mengambilnya dalam keadaaan sangat membutuhkan dan itupun dianggap sebagai utang yang harus dia kembalikan jika dia memiliki kelapangan untuk membayarnya.
  4. Disunnahkan ketika menyerahkan harta anak yatim kepadanya untuk mempersaksikannya kepada saksi-saksi agar menghindari perselisihan di kemudian hari.

Saran
Jika seseorang merasa tidak mampu menjaga amanah untuk menjaga harta anak yatim, maka janganlah dia menerima tawaran untuk menjaga hartanya atau menawarkan diri untuk menjaga harta anak yatim. Karena ini adalah amanah yang sangat besar. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati Abu Dzar Radhiyallahu anhu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّى أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّى أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِى لاَ تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ

Wahai Abu Dzar! Sesungguhnya saya melihatmu sebagai orang yang lemah. Saya menyukai untukmu apa yang saya sukai untuk diriku. Janganlah kamu menjadi pemimpin walaupun kamu hanya berdua dan janganlah kamu mengurus penjagaan harta anak yatim.[16]

Demikian tulisan ini dan mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang memperhatikan anak yatim sehingga Allâh Azza wa Jalla memasukkan kita ke dalam surga dekat dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil Kabîr wa bihâmisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafâsiir. Jâbir bin Musa al-Jazâiri. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
  2. At-Tahrîr wa at-Tanwî Muhammad Ath-Thahir bin ‘Asyur. 1997. Tunisia: Dar Sahnuun.
  3. Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
  4. Jâmi’ul Bayân fî Ta’wîlil Qur’ân. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
  5. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzhiim. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
  6. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
  7. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Miskin adalah orang yang tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya secara wajar, sedangkan fakir adalah tidak punya apa-apa, atau hanya bisa memenuhi kurang dari setengah kebuthan keluarganya.
[2] Lihat Aisar at-Tafâsîr, hlm. 239-240
[3] Lihat Tafsîr al-Baghawi, no. II/169
[4] HR. Abu Dawud no. 2875. Hadist ini dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud.
[5] HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr no. 3422. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahîhah no. 3180.
[6] HR. Abu Dawud no. 4406 dan Ibnu Mâjah no. 2541. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Ibni Majah.
[7] Lihat Tafsîr Ibni Katsîr II/216.
[8] Tafsiir al-Baghawi II/165.
[9] Lihat Tafsîr al-Qurthubi V/37 dan at-Tahrîr wat Tanwîr IV/32-33.
[10] Lihat Tafsîr al-Qurthubi V/37-38.
[11] HR Al-Bukhâri no. 2766 dan Muslim no. 89/262.
[12] Tafsîr ath-Thabari VII/580.
[13] Lihat Tafsîr Al-Qurthubi V/41-44 dan Tafsîr Ibni Katsîr II/217-219.
[14] HR Ath-Thabari dalam Tafsirnya VII/582 dan Ibnu Syabbah dalam Tarikh al-Madînah no. 1052 dari jalur Haritsah bin Mudharrib dari ‘Umar, dan Ibnu Syabbah juga no. 1053 dari jalur Abu Mijlaz dari ‘Umar, serta An-Nahhas dalam an-Nâsikh wal-Mansûkh no. 181 dari jalur Yarqa’ Maula ‘Umar dari ‘Umar. Atsar ini sanadnya shahih alhamdulillah.
[15] Tafsîr al-Qurthubi V/45.
[16] HR. Muslim, no. 1826/4720.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6552-berhatihati-dalam-menjaga-harta-anak-yatim.html